BiodataImam Syibli. Kunyah beliau adalah Abu Bakar, dengan nama asli Dulaf bin Jahdar 1 as Syibli al Baghdadi. Beliau dilahirkan dan tumbuh dewasa di Baghdad, Irak. Namun ada pula yang mengatakan kelahiran Imam as Syibli adalah Sāmarrā 2. Beliau meninggal di bulan dzulhijjah tahun 334H diusianya yang ke-87, dan disemayamkan di Pemakaman
KisahWali Allah Berguru Kepada Orang Gila Syekh Junaid Al Baghdadi adalah seorang Sufi terkemuka. Pada suatu waktu beliau keluar kota Baghdad bersama dengan beberapa muridnya, Syekh Junaid Al Baghdadi bertanya tentang Bahlul. Muridnya menjawab "Ia adalah orang gila, apa yang anda butuhkan darinya?". "Cari dia, aku ada perlu dengannya."
a Pengertian wali Gila atau Wali Majdzub. Menurut al-Qusyairi (w. 456 H atau 1072 M) kata wali memiliki dua pengertian. Pertama, berbentuk fa'il dan bermakna fa"ai (pelaku pekerjaan), wali adalah orang yang selalu menjalankan perintah Allah dengan sungguh-sungguh tanpa disertai perilaku maksiat. Ke dua, dapat berbentuk fa'il dengan arti
Mengenaimanusia-manusia (pilihan Tuhan), manakala langkah-langkah kaki dari hati-hati mereka akhirnya telah membawa mereka kepada Tuhan mereka, maka mereka akan melihat dalam mimpi apa yang tidak pernah mereka lihat dalam keadaan jaga. Hati dan wujud terdalam mereka akan melihat sesuatu yang tidak mereka lihat ketika mereka dalam keadaan bangun.
Kisahseorang Profesor Sue Watson yang Menjadi Muallaf. 18.53. TRIBUNPEKANBARU.COM- Sue Watson merupakan seorang profesor, pendeta, dan misionaris, yang pantas disebut sebagai fundamentalis radikal, dan kini telah memutuskan untuk menjadi muallaf. Hidayah telah menghampirinya, sehingga dia tertarik pada Islam, dan akhirnya memeluk agama yang
Meskimenjadi wali yang banyak memiliki karomah, Mbah Hasan Mangli rupanya masih merasa menjadi santri dari wali yang lain. Kiai Hadlor Ihsan dari Mangkang menceritakan pada saya bahwa di akhir tahun 1979, Mbah Hasan Mangli berkujung ( sowan) pada salah satu gurunya, yaitu Mbah Muslih Mranggen. Ketika hendak memasuki pintu rumah kiai asal
Diterjemahkandari al-Siyahah, al-Safar ila Allah ; Di antara tujuan dalam perjalanan adalah melihat berbagai jejak dan pelajaran, memerdekakan nalar di arena-arena pemikiran, menelaah bagian-bagian bumi, gunung-gunung, dan tempat-tempat petilasan para tokoh, mendengarkan tasbih benda-benda, serta menyimpulkan pemahaman dari berbagai potongan keadaan yang saling berdampingan.
SyaikhAbdul Qadir al-Jailani pun tinggal di puing-puing Kota Madain, Persia, selama 3 tahun. Pada tahun pertama, Nabi Khidir as datang menemuinya lantas berkata, "Teruskan saja tinggal di tempat ini sampai aku datang lagi menjengukmu ke sini.". Selama masa menunggu itu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani hanya memakan sayur-sayuran seadanya.
Padasaat itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah turun dari atas mimbar itu dan telah berdiri di hadapanku. Sambil beliau terus memberikan khutbah, beliau telah menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku sedang berada di satu tempat yang lain, yakni di satu lembah hijau yang sangat indah.
Tashawwufadalah jalan mendekat kepada Allah, semua wali menempuhnya dengan jalan yang berbeda beda (keadaan spiritual atau emosi batin)-nya. Ia menjawab bahwa perjalanan spiritual para pahlawan justru dimulai di puncak tiang gantungan, ia berdoa dan berjalan menuju puncak itu. KISAH TELADAN PARA SUFI. ♦ Abu Yazid Al-Busthomi (5) ♦
hyga. Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi’ secara arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng’.Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Ario Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat.“Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin metafisik. Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati kesadaran ruh. Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati ruh yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.“KESADARAN INSAN KAMIL”Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama.Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhirJadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA. Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikutNORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. KESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebaliknya. Itu pengelihatan yang terbalik.Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah penguasa Demak agar tidak menyerang Brawijaya V ayahnya karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang karena Demak dianggap telah kehilangan kultur yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir Pajang agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun. TOPIK LAINNYAciri ciri keturunan brawijaya v, jodoh satrio piningit, Ciri keturunan Aji Saka, Pangeran sangga buana, asal usul mahesa suro, Ciri-ciri fisik keturunan Banten, ciri-ciri keturunan jaka tingkir, Ciri-ciri KETURUNAN Tubagus, ciri keturunan batoro katong, silsilah keturunan dewi lanjar
Buku berjudul "Mereka yang Disandera Cinta kepada Allah Ta'ala" ini merangkum biografi para sufi yang begitu gigih menjalani kehidupan dengan selalu mengharap keridaan Tuhan. Sufi, berdasarkan catatan Wikipedia adalah penyebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau ilmu tasawuf. Total ada 81 sufi yang dikisahkan dalam buku yang bisa menjadi bahan introspeksi bagi para pembaca yang ingin meningkatkan kualitas ibadahnya kepada-Nya. Syaikh Ibrahim as-Samarqandi adalah salah satu sufi yang berasal dari Samarkand. Sebagai seorang sufi, ia memulai perjalanan spiritualnya melalui sikap dan perilaku yang sopan, baik terhadap sesama maupun terutama terhadap Allah Taala. Secara sufistik bersikap sopan di hadapan-Nya adalah mengakui dengan sepenuh hati segala kemahaan-Nya yang tak bertepi. Itu di satu sisi. Sementara di sisi lain adalah menyerahkan diri secara habis-habisan melalui pintu kepatuhan terhadap berbagai perintah dan ketentuan hadirat-Nya. Walaupun di antara sekian perintah itu tak kunjung terpahami. Sedangkan di hadapan sesama makhluk, sikap sopan itu akan muncul sebagai kerendahan hati yang begitu indah dan mengagumkan. Tak terlintas untuk bersikap jumawa sedikit pun. Karena sadar bahwa sejumlah kekurangan itu merupakan atribut-atribut yang permanen. Di situ yang akan senantiasa menjadi hiasan tak lain adalah penghormatan, cinta, dan kasih sayang hlm. 48-49. Sufi selanjutnya yang dikisahkan dalam buku ini bernama Syaikh Bisyr al-Hafi. Berasal dari salah satu desa di Merv atau Aleksandria. Pada awalnya, ia seorang pemabuk dalam artian betul-betul negatif. Hingga suatu hari ketika masih sempoyongan usai mabuk, ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat basmalah di tengah jalan. “Ini nama Tuhanku. Ini sangat mulia. Tidak boleh ada di jalan seperti ini” ungkapnya. Singkat cerita, untuk memuliakan kertas bertuliskan basmalah tersebut, ia berusaha membersihkannya dari kotoran, bahkan membalurinya dengan minyak wangi dan diletakkan di lemari paling atas. Saat tidur, ia bermimpi mendengar suara bergema; “Karena sudah kau harumkan nama-Ku, maka akan Kuharumkan namamu di dunia ini dan di akhirat nanti”. Setelah peristiwa secarik kertas itu, ia masih belum kunjung insaf dari kebiasaan mabuknya. Hingga suatu hari, ia didatangi seorang wali yang sebelumnya bermimpi sebanyak tiga kali, intinya agar mencari keberadaan Bisyr al-Hafi. “Carilah Bisyr bin al-Harits dan katakan kepadanya bahwa dia sudah dipanggil oleh Allah”. Ketika sang wali menyampaikan hal tersebut pada Bisyr, atas izin-Nya kemudian Bisyr pun bertobat dan tak lagi mabuk-mabukan. Hidup dan matinya lantas semata terfokus kepada Allah belaka hlm. 58. Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi juga termasuk sufi yang memiliki kisah menarik di balik keputusannya menempuh jalan spiritual atau keilahian. Ia berasal dari kota Kairouan, Tunisia. Tinggal di Mekkah selama beberapa tahun. Kemudian pindah ke Nisapur. Tentang peristiwa yang menyebabkan dirinya menempuh jalan keilahian, ia menuturkan sendiri kisahnya sebagaimana berikut ini “Yang menjadi pemicu taubat dan permulaanku memasuki lorong rohani adalah bahwa aku memiliki kuda dan anjing. Dengan kedua binatang itu setiap hari aku pergi untuk berburu. Di dalam berburu aku membawa sebuah kendi yang kuisi susu untuk diminum. Pada suatu hari aku ingin minum susu dalam kendi itu. Seketika itu juga anjingku menggonggong dengan sangat keras. Aku mau minum susu lagi, anjingku malah menggonggong lagi dengan lebih keras. Saat aku mau meminum lagi untuk ketiga kalinya dengan cepat anjingku lalu mendahului minum susu di kendiku. Setelah itu seluruh tubuh anjingku menjadi bengkak. Tak lama kemudian ia lalu mati. Ternyata anjingku berbuat demikian lantaran ia telah melihat seekor ular minum dari susu dalam kendiku. Ia telah rela menggantikan diriku dengan dirirnya sendiri. Setelah peristiwa itu aku langsung bertaubat dan memasuki jalan rohani ini”. Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari kisah pertaubatan Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi ialah bahwa makhluk apa saja, termasuk yang sering kali dipojokkan dan dihina oleh banyak orang seperti anjing, dengan penuh kasih sayang bisa digunakan oleh Allah Swt untuk menolong siapa pun yang dikehendaki-Nya. Dalam konteks ini, apa saja bisa menjelma sebagai pertolongan Tuhan semesta alam. Karena itu, pandanglah segala sesuatu sebagai kemungkinan yang bisa menjelma “tangan” kemahaan-Nya hlm. 179-180. Menarik sekali membaca kisah perjalanan para sufi dalam buku karya Kuswaidi Syafiie ini. Kisah mereka setidaknya dapat menjadi bahan renungan sekaligus mampu menggugah kesadaran dan nurani kita, agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan selalu berupaya bersikap baik terhadap makhluk-Nya, sehingga kelak kita dapat termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung. Sam Edy Yuswanto Penulis lepas mukim di Kebumen
Kisah ini bercerita tentang waliyullah yang bertemu dengan wabah penyakit. Kepanikan masyarakat justru sangat berbahaya dan memicu banyaknya korban. Dalam Kitab Hilayatu al Aulia karya Abu Nu’aim Ashfani, diceritakan bahwa di Damaskus Siria beberapa abad yang silam muncul segerombolan makhluk Allah berupa wabah penyakit ganas. Wabah tersebut hendak hendak memasuki kota tersebut. Saat hendak memasuki Kota Damaskus, kelompok wabah penyakit ganas tersebut bertemu dengan salah satu Waliyullah. Dengan karomah yang dimilikinya, ia mampu berbicara dengan segerombolan wabah tersebut. Percakapan pun berlangsung. Waliyullah bertanya, “Mau ke mana kalian?”. Wabah menjawab, “Kami diperintah oleh Allah untuk memasuki Damaskus.” Waliyullah bertanya lagi, “Berapa lama, dan berapa banyaknya kalian akan korban?” Wabah itu pun menjawab “dua tahun dengan seribu korban meninggal”. Dua tahun berlalu. Ternyata jumlah korban meninggal mencapai 50 ribu orang. Ketika Sang Wali bertemu kembali dengan wabah penyakit ini, ia pun bertanya, “Kenapa dalam dua tahun kalian memakan korban 50 ribu orang? Bukannya kalian janji hanya seribu orang meninggal?” Wabah itu pun menjawab, “Kami memang diperintah Allah untuk merenggut seribu korban. Empat puluh sembilan ribu korban lainnya meninggal dikarenakan panik, bukan karena ulah kami”. Kepanikan Saat Covid-19 Justru Memicu Suburnya Penyakit Cerita ini bagi mereka yang menyandarkan keberagamaannya murni pada akal tentu sulit untuk mempercayainya. Beda halnya bagi mereka yang beragama dengan mempercayai adanya karomah kelebihan yang diberikan oleh Allah kepada hamba yang dicintainya, mereka akan percaya. Seperti bertemunya para ulama dengan baginda Nabi dalam keadaan sadar. Padahal Nabi telah wafat. Terlepas benar atau tidak, percaya atau tidak terhadap cerita di atas, namun kenyataannya kepanikan berlebihan memang menjadi sumber percepatan pembiakan penyakit yang ada di dalam tubuh dan berisiko kematian. Semakin panik justru mereduksi kekebalan tubuh manusia. Begitu juga dengan bencana Covid-19. Kepanikan justru akan lebih berbahaya dari pada dampak wabah virus itu sendiri. Bila menghadapinya dengan rasa takut berlebihan tentu efek buruk akan terjadi pada tubuh. Bukan disebabkan oleh virus Corona itu, tapi penyakit lain yang menjangkit karena terlalu khawatir. Beberapa media saat ini menyuguhkan aneka informasi baik yang positif, bermanfaat bagi masyarakat maupun informasi negatif yang cenderung menjerumuskan dan membuat resah masyarakat. Pemberitaan tersebut bagi sebagian pihak menimbulkan kecemasan yang sangat. Informasi dan berita pandemi Covid-19 saat ini menjadi hidangan yang setiap saat bisa diakses, dilihat, didengar, dibaca, dan bahkan datang sendiri tanpa diminta di smartphone dan teknologi yang lain yang mampu membias ketakutan luar biasa. Sesungguhnya, kepanikan tersebut tidak perlu terjadi. Manusia hanya dituntut untuk melakukan ikhtiar secara maksimal. Bentuk ikhtiar tersebut adalah mentaati anjuran pemerintah dan para ulama yang memang memiliki otoritas untuk memilih tindakan pencegahan. Mereka tentu mengambil kebijakan tersebut berdasar pada petunjuk medis dan kejian keilmuan yang lain. Oleh karena itu penting agar media dan masyarakat untuk tidak meyebarkan rasa takut, khawatir dan membuat kepanikan masyarakat. Cukup dengan memberikan penyadaran tindak pencegahan untuk menumbuhkan kewaspadaan. Waspada tentu saja sangat dianjurkan, tetapi kepanikan berlebih itu berbahaya. Peringatan Rasulullah Jangan Sebar Kepanikan dan Berita Menakutkan Dan sebagai umat Islam kita dilarang untuk menyuguhkan berita provokatif yang bisa menimbulkan keresahan dan kecemasan di masyarakat. Apalagi berita itu bohong. Berita benarpun diupayakan tidak menimbulkan kepanikan dan rasa takut berlebih. Nabi bersabda لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” Shahih Sunan Abi Dawud Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam situasi saat ini adalah memberi edukasi, kewaspadaan dan rasa tenang. Tidak perlu ikut menyebarkan berita terkait yang tidak jelas sumbernya atau membuat panik. Masyarakat tidak perlu ikut menyebarkan gambar-gambar yang menyeramkan tentang korban Covid-19 supaya tidak menimbulkan ketakutan di masyarakat. Allah berfirman وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar”. QS. Al Baqoroh 155 Mukmin sejati adalah mereka yang menganggap bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Allah. Apapun bentuk ujian dari Allah hanya untuk lebih memperkuat keimanan. Wabah maupun bencana sejatinya adalah petaka bagi mereka yang mungkar dan ujian kesabaran bagi orang beriman. Mari kita bergandengan tangan untuk melawan covid-19 ini dengan cara melawan kepanikan dan ketakutan berlebihan. Tingkat kewaspadaan dengan selalu menjaga jarak dan membudayakan kebersihan. Selebihnya adalah berdoa dan tawakal, semoga ujian ini cepat berlalu.